Penjual Cilok Lulus Sarjana Setelah 10 Tahun Perjuangan
Di lereng Gunung Sumbing, ada sebuah desa kecil bernama Pagergunung. Desa ini dikelilingi hutan, jurang, dan kebun tembakau. Sinyal ponsel nyaris tidak ada, listrik masih byar-pet, dan televisi hanyalah pajangan mahal bagi sebagian besar warga. Tapi, setiap pagi, dari sebuah rumah bambu sederhana, terdengar suara ceria: “Selamat pagi, warga Pagergunung! mg4d Hari ini kita belajar tentang tanaman organik!”
Suara itu milik Pak Darto, 58 tahun, seorang mantan guru SD yang menciptakan Radio Bambu, siaran lokal berbasis pengeras suara dari alat rakitan. Ia bukan penyiar profesional. Ia juga bukan orang kaya. Tapi dari rumahnya, ia menyuarakan harapan dan pengetahuan, menyambungkan warga dengan dunia luar yang terlalu jauh dari jangkauan.
Kegelisahan yang Melahirkan Inovasi
Pak Darto dulunya guru SD di desa itu. Setelah pensiun, ia merasa hidupnya hampa. Ia melihat anak-anak desa makin kehilangan minat belajar. Orang tua semakin tertinggal informasi. Banyak petani gagal panen karena tak tahu perubahan cuaca atau hama terbaru.
“Saya sedih. Saya pensiun, tapi kok desa saya makin sunyi. Bukan karena sepi suara, tapi sepi harapan,” katanya.
Suatu malam, ia menonton dokumenter di balai desa yang memutar film pakai genset. Film itu tentang radio komunitas di Afrika yang menyuarakan pendidikan untuk desa tanpa listrik. Di situlah ide muncul: membuat radio sendiri. Dari bambu. Dari kabel-kabel bekas. Dari keyakinan bahwa suara bisa mengubah dunia.
Merakit Harapan dari Barang Bekas
Dengan modal nekat dan semangat luar biasa, Pak Darto mulai merakit Radio Bambu. Ia memakai pengeras suara bekas, aki bekas motor, dan antena dari pipa paralon. Ia belajar dari internet di warung kopi kota saat mengunjungi anaknya. Butuh waktu dua bulan, dan berkali-kali meledak kecil atau mati total, tapi akhirnya Radio Bambu bisa mengudara—menggunakan speaker yang dipasang di pohon bambu tertinggi di halaman rumahnya.
Jangkauan siaran hanya sekitar 2 km, tapi cukup menjangkau seluruh desa. Awalnya ia siaran sendiri, tiap pagi dan sore. Ia membaca berita dari koran tua, membacakan dongeng, menyanyikan lagu anak-anak, dan mengundang warga untuk mengirim pesan lewat surat.
Siaran yang Menghidupkan Desa
Tak disangka, warga mulai mendengarkan. Anak-anak duduk di beranda tiap jam 5 sore, menunggu dongeng dari Pak Darto. Petani mulai mencatat tips pertanian yang ia siarkan. Ibu-ibu mengirimkan resep masakan untuk dibacakan di udara.
Suatu hari, ia menyiarkan puisi karangan anak SD bernama Rika. Puisi itu menyentuh banyak warga, hingga Rika mendapat undangan untuk membacakannya di acara kabupaten. “Saya tak menyangka suara saya bisa sampai ke kota,” kata Rika.
Radio Bambu kini menjadi semacam sekolah dan ruang bersama. Setiap pekan, Pak Darto mengundang narasumber: bidan desa untuk bicara soal gizi, kepala dusun untuk info bantuan, bahkan petani sukses dari desa sebelah. Semuanya gratis. Semuanya demi satu tujuan: membangkitkan semangat belajar warga desa.
Menggugah Banyak Hati Lewat Gelombang Suara
Kisah Radio Bambu tak hanya menggugah hati warga Pagergunung. Seorang relawan pendidikan yang sedang KKN di desa itu membuat vlog tentang Pak Darto dan radionya. Video itu viral di media sosial. Ribuan orang membagikan kisahnya. Banyak yang mengaku terinspirasi.
“Pak Darto mengajarkan bahwa suara adalah kekuatan. Tak perlu internet, tak perlu listrik penuh, cukup satu orang yang mau bicara dengan hati,” tulis salah satu komentar.
Donasi mulai berdatangan: buku, baterai aki, bahkan laptop kecil bertenaga surya. Tapi Pak Darto tak mengubah konsepnya. Ia tetap menyiarkan dari rumah bambunya, tetap pakai bahasa Jawa halus, tetap mengajak warga aktif ikut isi siaran.
Menginspirasi Desa Lain
Kisah Radio Bambu menginspirasi desa-desa lain di kaki gunung. Di lereng Merapi, muncul “Radio Kentongan.” Di pinggiran Kalimantan, ada “Radio Lentera.” Semuanya berangkat dari ide sederhana: kalau listrik dan sinyal belum datang, kita bawa sendiri suaranya.
Dinas pendidikan kabupaten bahkan menjadikan model Radio Bambu sebagai inspirasi pembelajaran jarak jauh untuk desa tanpa internet. Mahasiswa teknik datang untuk belajar sistem rakitan radionya. Bahkan, universitas setempat menawari Pak Darto jadi pembicara dalam seminar teknologi tepat guna.
Namun ia tetap menolak populer. “Saya bukan pakar. Saya hanya tidak tahan melihat desa saya diam terus. Saya ingin suara kita didengar, walau hanya sejauh pohon bambu.”
Siaran Darurat yang Menyelamatkan Nyawa
Suatu malam musim hujan, hujan deras menyebabkan tanah longsor di pinggiran desa. Pak Darto yang mendengar suara gemuruh segera menyalakan radionya dan mengumumkan peringatan darurat: “Mohon semua warga sekitar sungai segera menjauh! Ada potensi longsor!”
Berkat siaran itu, beberapa keluarga sempat menyelamatkan diri sebelum tanah ambruk menghantam kandang dan kebun mereka. Tidak ada korban jiwa. Warga desa menyebut malam itu sebagai bukti nyata kekuatan Radio Bambu.
Pak Darto hanya tersenyum kecil saat diminta tanggapan. “Kadang suara kecil menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada sirine besar yang datang terlambat.”
Mengharukan: Perpisahan dengan Suara
Tahun lalu, Pak Darto mengalami stroke ringan. Ia sempat tak bisa siaran selama beberapa minggu. Desa pun terasa sunyi. Anak-anak mulai menulis surat, menaruhnya di pagar rumah Pak Darto: “Cepat sembuh, Mbah Radio. Kami rindu suara pagi.”
Air matanya jatuh saat membaca surat-surat itu. Ia memaksakan diri kembali siaran, meski suara tak sekuat dulu. Kini ia dibantu dua anak muda desa yang ia latih sebagai penyiar muda.
Ia berkata, “Saya mungkin tak bisa siaran selamanya. Tapi semoga suara ini tetap hidup, karena suara itu semangat. Dan semangat tak boleh mati.”
Penutup: Dari Pohon Bambu ke Hati Bangsa
Kisah Pak Darto dan Radio Bambu adalah bukti bahwa teknologi bukan soal canggih atau mahal. Ia soal niat, kepedulian, dan kesediaan untuk bicara walau hanya didengar segelintir orang.
Dari bambu, kabel bekas, dan hati yang tak menyerah, lahirlah suara yang menyambungkan satu desa dengan masa depan. Ia bukan penyiar profesional. Tapi ia menyuarakan yang tak pernah terucap. Ia bukan tokoh nasional. Tapi getaran suaranya sampai ke banyak hati di seluruh Indonesia.
Karena di negeri yang kadang gaduh oleh berita palsu dan debat kusir, suara seperti Pak Darto adalah oase: jernih, sederhana, dan penuh cinta.